MEMORANDUM–Di era digital seperti sekarang, media sosial menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, terutama bagi Generasi Z—mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Generasi ini tumbuh di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan internet, sehingga tak heran jika mereka sangat akrab dengan berbagai platform seperti Instagram, TikTok, Twitter, hingga YouTube. Media sosial membuka banyak peluang positif, namun di sisi lain juga membawa dampak yang tidak bisa diabaikan, terutama dalam hal kesehatan mental.
Media Sosial: Antara Manfaat dan Risiko
Media sosial memang memiliki manfaat yang luar biasa. Ia memungkinkan orang untuk tetap terhubung, membagikan pengalaman, menemukan komunitas dengan minat yang sama, hingga mendapatkan informasi secara cepat. Bagi sebagian orang, media sosial bahkan bisa menjadi wadah untuk berekspresi dan menunjukkan kreativitas.
Namun, di balik semua kemudahan dan keseruannya, media sosial juga memiliki sisi gelap yang seringkali tersembunyi. Banyak studi menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan, depresi, rendahnya harga diri, bahkan rasa kesepian. Hal ini khususnya terasa di kalangan Generasi Z yang masih berada dalam masa pencarian jati diri dan rentan terhadap pengaruh eksternal.
FOMO dan Tekanan Sosial
Salah satu dampak negatif media sosial yang paling sering dirasakan adalah FOMO (Fear of Missing Out)—perasaan takut tertinggal atau tidak ikut serta dalam suatu hal yang sedang tren. Ketika seseorang melihat teman-temannya mengunggah foto liburan, pesta, atau pencapaian tertentu, secara tidak sadar mereka mulai membandingkan hidupnya dengan orang lain. Hal ini bisa menimbulkan perasaan iri, cemas, bahkan tidak puas dengan kehidupan sendiri.
Tekanan sosial juga muncul dari standar yang dibentuk di media sosial. Banyak Generasi Z merasa perlu tampil sempurna di depan kamera, selalu bahagia, menarik, dan “kekinian”. Padahal, kehidupan yang ditampilkan di media sosial seringkali sudah melalui proses seleksi dan edit, yang tidak merepresentasikan kenyataan sepenuhnya. Akibatnya, banyak anak muda merasa hidupnya kurang menarik atau gagal dibandingkan dengan apa yang mereka lihat di layar.
Dampak terhadap Citra Diri dan Kesehatan Mental
Generasi Z sangat dipengaruhi oleh validasi eksternal dalam bentuk likes, comments, atau jumlah followers. Hal ini bisa memicu ketergantungan terhadap pengakuan orang lain untuk merasa berharga. Saat unggahan mereka tidak mendapat respons seperti yang diharapkan, tidak jarang mereka merasa kecewa, tidak percaya diri, atau bahkan mempertanyakan nilai dirinya.
Lebih parahnya lagi, ada fenomena cyberbullying atau perundungan daring yang kerap terjadi di media sosial. Bentuknya bisa berupa komentar negatif, hinaan, hingga penyebaran kebencian. Bagi sebagian remaja, komentar-komentar tersebut bisa berdampak sangat serius, mulai dari menurunnya motivasi belajar, menarik diri dari lingkungan sosial, hingga gangguan mental seperti depresi berat.
Kecanduan dan Kualitas Tidur
Kecanduan media sosial juga menjadi isu yang patut diperhatikan. Banyak dari Generasi Z yang sulit lepas dari ponsel mereka, bahkan menjelang tidur. Kebiasaan ini bukan hanya mengganggu kualitas tidur, tetapi juga memengaruhi kondisi mental secara keseluruhan. Kurang tidur bisa menyebabkan gangguan konsentrasi, suasana hati yang tidak stabil, hingga meningkatnya risiko gangguan kecemasan.
Bahkan, ada istilah doomscrolling, yaitu kebiasaan terus-menerus menggulir linimasa dan mengonsumsi informasi negatif, terutama saat malam hari. Aktivitas ini membuat otak terus aktif dan waspada, sehingga membuat tubuh sulit beristirahat dengan optimal.
Menciptakan Hubungan yang Sehat dengan Media Sosial
Meski memiliki banyak sisi negatif, bukan berarti media sosial harus dihindari sepenuhnya. Kuncinya adalah menciptakan hubungan yang sehat dengan platform tersebut. Generasi Z perlu diberikan pemahaman dan edukasi tentang bagaimana menggunakan media sosial secara bijak.
Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain adalah:
Membatasi waktu penggunaan media sosial, misalnya dengan memanfaatkan fitur screen time.
Memilih akun-akun yang positif dan inspiratif untuk diikuti, serta menghindari konten yang memicu perasaan negatif.
Menghindari membandingkan diri dengan orang lain, karena setiap orang memiliki jalannya masing-masing.
Berani ‘detox’ dari media sosial ketika merasa lelah secara mental.
Lebih aktif berinteraksi di dunia nyata, karena hubungan sosial yang sehat di kehidupan nyata jauh lebih berpengaruh terhadap kesejahteraan emosional.
Peran Keluarga dan Sekolah
Peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sangat penting dalam membantu Generasi Z membangun kesehatan mental yang baik di tengah derasnya arus digital. Orang tua dan guru perlu lebih terbuka untuk berdiskusi tentang penggunaan media sosial, serta menjadi tempat yang aman untuk bercerita tanpa dihakimi.
Dengan pendekatan yang empatik dan edukatif, Generasi Z bisa dibimbing untuk menjadi pengguna media sosial yang cerdas dan sadar akan dampaknya, baik positif maupun negatif.
Media sosial memang menawarkan banyak peluang, tetapi juga membawa tantangan yang signifikan terhadap kesehatan mental Generasi Z. Keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata, serta kesadaran untuk merawat kesehatan mental, menjadi kunci utama untuk menghadapi era ini dengan lebih bijak. Menggunakan media sosial bukanlah masalah, selama kita tetap bisa mengendalikan penggunaannya, bukan sebaliknya.
Artikel Ini Ditulis Oleh Muhammad Habib, Mahasiswa Magang di Memorandum