MEMORANDUM – Salat merupakan rukun Islam kedua, yang berarti menjadi kewajiban bagi setiap Muslim di seluruh dunia.
Salat juga memiliki aturan dan tata cara yang sangat terperinci, setiap gerakannya memiliki tuntunan khusus yang didasarkan pada Al Qur’an dan Hadis.
Namun, ada salah satu gerakan di dalam gerakan salat yang sering menjadi perbincangan di kalangan umat Muslim, yaitu posisi tangan ketika salat.
Maksutnya adalah bagaimana posisi tangan kita ketika berdiri setelah takbiratul ihram di dalam salat.
Hal ini dikarenakan adanya perbedaan dalam meletakkan tangan ketika salat, ada yang meletakkan tangan di dada sampai ada yang meletakkannya di perut.
Lalu bagaimana posisi tangan yang benar dan dimana seharusnya tangan kita diletakkan ketika salat?
Perbedaan Posisi Tangan ketika Salat
Ternyata alasan adanya perbedaan posisi tangan ini disebabkan oleh pendapat dari mazhab yang berbeda-beda.
Empat mazhab besar yaitu mazhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafi’i memiliki perbedaan pendapat mengenai posisi tangan ketika salat.
Akan tetapi, perbedaan pandangan ini tidak muncul begitu saja, masing-masing dari mereka memiliki dasar atau hadis yang dijadikan acuan.
Maka dari itu tumbuh beberapa cara dalam posisi meletakkan tangan ketika berdiri di dalam salat.
Mazhab Hanafi
Di dalam mazhab Hanafi, mengenai posisi tangan ketika berdiri di dalam salat adalah diletakkan tangan di bawah pusar.
Pendapat mazhab Hanafi mengacu pada sebuah hadis, yang mana menyebutkan bahwa posisi tangan ketika berdiri setelah takbiratul ihram adalah dengan cara meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan diletakkan di bawah pusar.
عَنْ أَبِي جُحَيْفَةَ أَنَّ عَلِيًّا ( قَالَ مِنْ السُّنَّةِ وَضْعُ الْكَفِّ عَلَى الْكَفِّ فِي الصَّلاَةِ تَحْتَ السُّرَّةِ
Artinya: “Yang termasuk sunah itu adalah meletakkan pergelangan tangan (kanan) di atas pergelangan tangan (kiri) dalam salat di bawah pusar.” (HR. Abu Dawud).
Mazhab Hambali
Di dalam mazhab Hambali, ada yang berpendapat meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan diletakkan di atas pusar.
Tangan kanan dianjurkan menggenggam pergelangan kiri dengan lembut.
Mazhab Maliki
Mazhab Maliki memiliki pandangan yang cukup berbeda jika dibandingkan dengan yang lain.
Mazhab Maliki menganjurkan untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan diletakkan di dada.
Mengacu pada sebuah hadis Rasulullah SAW yang mana menyebutkan bahwa posisi tangan ketika berdiri adalah dengan cara meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri dan didekap erat di dada.
عَنْ طَاوُسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ – يَضَعُ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى يَدِهِ الْيُسْرَى ثُمَّ يَشُدُّ بَيْنَهُمَا عَلَى صَدْرِهِ وَهُوَ فِي الصَّلاَةِ
Artinya: “Dari Thawus, ia berkata: Rasulullah SAW meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya kemudian mendekap erat di dada beliau dalam keadaan salat.” (Sunan Abu Dawud).
Mazhab Syafi’i
Di dalam mazhab Syafi’i dianjurkan untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri saat berdiri dalam salat, dengan posisi tangan diletakkan di bawah dada dan di atas pusar.
Mengacu pada sebuah hadis Rasulullah SAW, yaitu:
عَنْ أَبِيهِ وَائِلِ بْنِ حُجْرٍ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ ( رَفَعَ يَدَيْهِ حِينَ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ كَبَّرَ وَصَفَ هَمَّامٌ حِيَالَ أُذُنَيْهِ, ثُمَّ الْتَحَفَ بِثَوْبِهِ, ثُمَّ وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى, فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَعَ أَخْرَجَ يَدَيْهِ مِنْ الثَّوْبِ, ثُمَّ رَفَعَهُمَا, ثُمَّ كَبَّرَ, فَرَكَعَ فَلَمَّا قَالَ سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمَّا سَجَدَ سَجَدَ بَيْنَ كَفَّيْهِ
Artinya: “Dari Wa’il bin Hujrin, Sesungguhnya ia telah melihat Nabi SAW mengangkat kedua tangannya ketika memulai shalat, beliau bertakbir dan mengangkat tangannya hingga sejajar dengan telinganya, kemudian beliau memasukkan tangannya ke balik pakaiannya, kemudian beliau melatakkan tangan kanannya diatas tangan kirinya, lalu ketika beliau hendak rukuk dikeluarkannya kedua tangannya dari balik pakaiannya, kemudian beliau mengangkat kedua tangannya lalu bertakbir, selanjutnya beliau rukuk. Setelah itu beliau mengucapkan Sami’allahu liman hamidah lalu mengangkat tangannya lagi.” (HR. Muslim).
Artikel ini ditulis oleh Muhammad Abiel Mahasin – mahasiswa magang di Memorandum








